Minggu, 06 Mei 2012


Minggu, 6 Mei 2012 - Infeksi jamur yang telah membunuh amfibi dalam jumlah memecahkan rekor di dunia membawa pada dehidrasi mematikan bagi katak di alam liar, menurut sebuah studi dari Universitas California di Berkeley dan San Francisco State University.

Tingkat jamur akuatis yang tinggi bernama  Batrachochytrium dendrobatidis (Bd) mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit pada katak liar, kata para ilmuan, dengan parah mengurangi tingkat sodium dan potassium katak dan menyebabkan serangan jantung dan kematian.
Temuan mereka mengkonfirmasi apa yang telah ditunjukkan secara hati-hati oleh para ilmuan di lab dengan jamur tersebut, namun biologiwan SF State Vance Vredenburg mengatakan kalau data dari katak liar member gambaran lebih baik mengenai kemajuan penyakit ini.
 “Mode kematian yang ditemukan di lab tampaknya merupakan apa yang sungguh-sungguh terjadi di lapangan,” katanya, “dan pemahaman demikian merupakan kunci untuk berbuat sesuatu di masa datang.”
 Studi ini diterbitkan online dalam jurnal mitra bestari PLoS ONE dan didanai lewat kerjasama National Science Foundation dan  National Institutes of Health program, Ecology and Evolution of Infectious Diseases.
Dalam jantung studi baru ini, sampel darah diambil dari katak kaki kuning pegunungan oleh Vredenburg, yang merupakan asisten professor biologi di SF State, dan koleganya tahun 2004, ketika wabah chytrid menyapu lembah pegunungan Sierra Nevada.
 “Sangat langka untuk mampu mempelajari fisiologi di alam liar seperti ini, pada momen yang tepat dimana sebuah penyakit mewabah,” kata ekolog UC Berkeley, Jamie Voyles, pengarang perdana studi ini.
 Sayangnya, ini adalah sebuah studi yang tidak dapat diduplikasi, setidaknya di Sierra Nevada. Populasi katak telah hampir punah oleh chytrid, menurun 95 persen setelah jamur itu pertama dideteksi tahun 2004.
 “Sedih rasanya berjalan di lembah ini dan berpikir, ‘Wah, mereka semua sudah tidak ada,’” kata Vredenburg.
 Jamur chytrid menyerang kulit amfibi, menyebabkannya menjadi lebih tebal sampai 40 kali lipat dalam beberapa kasus. Karena katak tergantung pada kulitnya untuk menyerap air dan elektrolit esensial seperti sodium dari lingkungannya, Voyles dan koleganya tahu kalau chytrid akan mengganggu keseimbangan cairan dalam amfibi yang terinfeksi, namun terkejut menemukan kalau tingkat elektrolit jauh lebih rendah dari yang diantisipasi untuk sampel Sierra Nevada.
 “Jelas kalau jamur ini memiliki dampak besar di alam liar,” kata Voyles.
“Penyakit alam liar dapat sama berbahayanya bagi kesehatan dan ekonomi kita seperti halnya penyakit pertanian dan manusia,” kata Sam Scheiner, petugas program NSF untuk EEID. “Bd telah menghancurkan spesies katak dan salamander di dunia, yang dapat mengganggu sistem alam secara potensial. Studi ini penting dalam menambah pemahaman kita mengenai penyakit tersebut, langkah pertama mencari jalan mengurangi dampaknya.”
 Para ilmuan ingin belajar sebanyak yang mereka bias mengenai bagaimana chytrid mempengaruhi amfibi liar, dengan harapan kalau penemuan ini akan membawa pada perawatan yang lebih baik pada infeksi tersebut.
 Sebagai contoh, kata Voyles, studi baru menunjukkan kalau katak individual yang dirawat infeksinya dapat memperoleh manfaat dari suplemen elektrolit dalam tahap lanjut penyakit ini.
Para peneliti seperti Vredenburg sudah bereksperimen dengan berbagai cara merawat katak individual, seperti memberikan terapi antijamur atau menginokulasi katak dengan bakteri probiotik yang menghasilkan senyawa yang membunuh jamur tersebut.
 “Penyakit ini tidak terlalu sulit untuk dihilangkan di lab dengan antijamur. Kita tahu kita dapat merawat hewan di sini,” kata Vredenburg. “Namun di alam liar, penyakit ini masih berupa target yang bergerak.”
 Masih belum jelas bagaimana chytrid menyebar di wilayah ini, dan katak mana yang rentan pada re-infeksi setelah perawatan. Di awal tahun ini, Vredenburg dan koleganya menerbitkan sebuah makalah yang menunjukkan kalau sejenis katak biasa Amerika Utara mungkin merupakan pembawa infeksi ini.
 Chytrid telah membunuh lebih dari 200 spesies amfibi di dunia, namun Voyles mengatakan kalau studi baru ini menawarkan “harapan yang memungkinkan melakukan sesuatu untuk memitigasi hilangnya katak di alam liar.”
Sumber berita:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar