Senin, 10 Juni 2013

Kerokan..Fakta atau Mitos Saja???



Bukannya chauvinis, tapi kerokan berbeda dengan akupuntur. Kerokan punya dasar ilmiah. Disertasi doktor Didik Tamtomo dari FK UNS membahas khusus sisi kedokteran dari kerokan.  Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa kadar IL-1B, C1q dan B-endorfin setelah kerokan cenderung meningkat, yang bermaknamenyebabkan nyeri otot berkurang, rasa nyaman, segar dan eforia. Sedang kadar C3 dan PGE2 setelah kerokan cenderung menurun yang m enyebabkan nyeri otot berkurang.


Berbeda dengan istilahnya, masuk angin sebenarnya bukan angin yang masuk ke tubuh, tetapi pembuluh darah di kulit menyempit. Penyempitan ini dapat disebabkan terpaparnya kulit pada udara atau angin dingin sehingga kulit bereaksi dengan mempersempit pembuluh darah. Jadi bukan angin yang masuk, tapi pembuluh darah kedinginan. Penyebab lain yang umum dari penyempitan ini adalah kurang gerak. Dinding pembuluh darah menjadi kurang keluwesan.
Dengan menyempitnya pembuluh darah, otot menjadi kekurangan pasokan oksigen sehingga mengalami nyeri otot (mialga) atau pegal-pegal. Mekanisme kekebalan tubuh juga menurun akibat penyempitan pembuluh darah kulit sehingga rentan serangan virus.
Kerokan berfungsi memperlebar pembuluh darah kulit, terutama daerah punggung yang pembuluh darah kulitnya paling panjang dan menyebar ke mana-mana. Ketika dikerok, muka pembuluh darah kapiler di permukaan kulit pecah dan memaksa pembuluh darah di sekujurnya melebar. Pelebaran yang ditandai pembesaran diameter vaskuler ini juga disertai dengan migrasi sel darah putih, agen kekebalan tubuh yang tertipu karena mengira tubuh luka. Sel darah fungsi berfungsi menyerang virus dan bakteri yang mungkin ada sehingga bila memang ada di sepanjang jalan, para penyerang ini dapat dibasmi.
Pecahnya wajah pembuluh darah di permukaan kulit selain melebarkan bagian bawah pembuluh juga memaparkan bagian terdalam lapisan pembuluhnya (jaringan endotel) pada tekanan kerokan. Tubuh bereaksi dengan mengeluarkan propiomelanokortin (POMC). Polipeptida ini dipecah oleh tubuh dan menghasilkan perubahan para mediator pendarahan seperti beta endorfin, PGE2, C3, IL-1 beta dan Clq. IL-1 beta, Clq dan Beta endorfin meningkat sementara C3 dan PGE2 menurun.
Komponen beta endorfin lah yang membuat tubuh merasa nyaman dan berefek candu. Orang bisa kecanduan kerokan dan ini tidak baik untuk kesehatan. Dampaknya kerokan berkala dapat menjadikan kulit iritasi dan pembuluh darah halus mudah pecah.
Menurunnya komponen PGE2 menaikkan kepekaan nosiseptor sentra sensitisasi. Meningkatnya kepekaan ini menyebabkan rasa nyeri saat dikerok. Di sisi lain, peningkatan IL-1 beta dan Clq disertai penurunan C3 bersama-sama memunculkan rasa segar, nyaman dan eforia.
Kerokan juga memicu reaksi kardiovaskuler. Suhu tubuh naik sedikit sekitar 0,5 hingga 2 derajat Celsius.

Referensi
Antozz. Juli 31, 2008. Kerokan dalam pandangan medis
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FIKS1TI/207511092/BAB%20I.pdf
Referensi lanjut :
Didik Tamtomo. 2011. Kajian Biologi Molekuler Pengobatan Tradisional Kerokan pada Penanggulangan Mialgia. Disertasi. UNS.


Minggu, 09 Juni 2013

Ilmuwan Membentuk Sel-sel Saraf Baru

Bidang terapi sel, yang bertujuan membentuk sel-sel baru dalam tubuh untuk menyembuhkan penyakit, telah mencapai langkah penting dalam pengembangan menuju pengobatan baru. Laporan terbaru dari para peneliti di Universitas Lund, Swedia, menunjukkan cara yang mungkin untuk memprogram-ulang sel-sel lain menjadi sel-sel saraf, secara langsung di dalam otak.
Dua tahun yang lalu, para peneliti Universitas Lund merupakan yang pertama di dunia yang berhasil memprogram-ulang sel kulit manusia, yang dikenal sebagai fibroblast, menjadi sel saraf penghasil dopamin – tanpa harus mengambil jalan memutar melalui tahap sel punca. Kelompok riset ini kini melangkah jauh ke depan dan menunjukkan cara memprogram-ulang sel kulit maupun sel-sel pendukung menjadi sel-sel saraf, secara langsung pada tempatnya di dalam otak.
“Temuan ini merupakan bukti pertama yang penting untuk kemungkinan memprogram-ulang sel lain menjadi sel saraf di dalam otak,” kata Malin Parmar, pimpinan studi yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini.
Para peneliti menggunakan gen yang dirancang untuk diaktifkan atau dinonaktifkan dengan menggunakan obat. Gen ini dimasukkan ke dalam dua jenis sel manusia: sel fibroblas dan glia, atau sel pendukung yang hadir di dalam otak secara alami. Setelah mentransplantasikannya ke dalam sel-sel otak tikus, gen itu lantas diaktifkan dengan obat khusus yang dicampur ke dalam minuman tikus. Sel-selnya kemudian mulai melakukan transformasi menjadi sel-sel saraf.
Pada eksperimen terpisah, di mana gen serupa disuntikkan ke dalam otak tikus, para penelitian juga berhasil memprogram-ulang sel-sel glia dari tikus itu sendiri menjadi sel-sel saraf.
“Temuan riset ini berpotensi membuka jalan alternatif bagi transplantasi sel di masa depan, yang akan menghilangkan hambatan sebelumnya untuk bisa diteliti, seperti kesulitan membuat otak bisa menerima sel-sel asing, serta munculnya risiko perkembangan tumor,” tutur Malin Parmar.
Pada akhirnya, teknik baru pemrograman-ulang secara langsung di dalam otak ini dapat membuka kemungkinan baru untuk lebih efektif mengganti sel-sel otak yang sudah mati pada penderita penyakit Parkinson.
“Kami tengah mengembangkan teknik ini agar dapat digunakan untuk menciptakan sel-sel saraf baru sebagai pengganti fungsi sel-sel yang rusak,” tambah Marlin, “Dengan mampu melaksanakan pemprograman-ulang in vivo, maka dimungkinkan untuk membayangkan gambaran masa depan di mana kita bisa membentuk sel-sel baru secara langsung dalam otak manusia, tanpa harus mengambil jalan memutar melalui kultur dan transplantasi sel.”

Peneliti Berhasil Transplantasi Sel Saraf Kulit Monyet ke Otak Manusia

 Penelitian terdahulu  yang dimuat dalam jurnal Cell Reports ini, menjelaskan setelah enam bulan, sel-sel itu tampak sepenuhnya normal, total memulihkan cidera otak penyebab Parkinson, yang sebelumnya diderita monyet tersebut.
Mengingat sel-sel tersebut berasal dari sel-sel dewasa dalam kulit monyet, maka percobaan ini menjadi bukti-prinsipil untuk terwujudnya konsep personalisasi perawatan, jenis pengobatan yang penanganannya dirancang untuk tiap-tiap individu yang berbeda agar memperoleh terapi atau obat yang tepat bagi penyakitnya.
Dan mengingat sel-sel kulit bukan merupakan jaringan “asing”, maka tak terlihat tanda-tanda adanya penolakan kekebalan, yang berpotensi menimbulkan masalah besar saat transplantasi sel dilakukan. “Saat Anda melihat ke dalam otak, Anda takkan sadar bahwa otak itu sudah ditanam,” kata penulis senior Su-Chun Zhang, profesor ilmu saraf di University of Wisconsin-Madison, “Secara struktural, otak inang terlihat seperti otak yang normal, sel-sel transpalan hanya bisa dilihat di bawah mikroskop fluoresen.”
Marina Emborg, profesor fisika medis di UW-Madison yang juga kepala penelitian mengatakan, "Ini adalah pertama kalinya saya melihat, dalam primata non manusia, bahwa sel-sel yang ditransplantasikan bisa terintegrasi begitu baik disertai reaksi minimal," jelas Marina seperti yang dikutip Technology.org.
"Sel-sel ditanamkan di otak monyet menggunakan prosedur bedah dipandu oleh gambar MRI," kata Emborg.
Penelitian itu dilakukan terhadap tiga monyet rhesus di Pusat Penelitian Primata Nasional Wisconsin memiliki lesi di daerah otak yang menyebabkan penyakit Parkinson. Penyakit ini menimpa hingga 1 juta orang Amerika.
"Sayangnya, teknik ini belum dapat digunakan untuk membantu pasien sampai sejumlah pertanyaan bisa terjawab, seperti dapatkah transplantasi ini meningkatkan gejala? Apakah aman? Lagi pula uji coba hanya selama enam bulan tidaklah cukup. Apa pula efek sampingnya?," jelas Zhang.
Meskipun demikian, studi baru ini dinilai merupakan langkah nyata yang mungkin bermanfaat bagi pasien manusia menderita beberapa penyakit.
"Dengan mengambil sel-sel dari binatang dan mengembalikan mereka dalam bentuk baru untuk hewan yang sama, ini adalah langkah pertama menuju pengobatan terbaru, khususnya untuk Parkinson," kata Marina.
Sedangkan Zhang menjelaskan tercatat tiap tahunnya, Parkinson diderita oleh 60.000 pasien. “Saya bersyukur Parkinson’s Disease Foundation bersedia menjadi penyandang dana utama bagi penelitian kecil ini. Sekarang kami ingin bergerak maju dan melihat apakah hasilnya mengarah ke pengobatan nyata bagi penyakit yang mengerikan itu,” kata Zhang.